Saturday, May 30, 2009

Amarah laut dan cinta terputus

Allah, Allah, Allah. Hembusan nafas-Mu menjelma butiran-butiran salju yang turun satu-satu. Titik-titik putih yang lembut melayang di tengah kegelapan mahaluas. Tengah malam. Kota ini masih terjaga, tepat di jantung Eropa. Kerlap-kerlip lampu menjelma jutaan kunang-kunang terbang di kejauhan. Kota tua di jantung Eropa, meringkuk berselimutkan musim dingin yang perlahan mencapai puncaknya. Temperatur udara menurun dengan cepat, beberapa derajat celsius di bawah nol.

Aku belum tertidur, kekasihku. Mataku masih terpicing. Aku masih menyelam di dalam lautan jiwaku yang gelisah. Memikirkanmu. Di manakah kamu, kekasihku?

Allah, Allah, Allah. Nafas-Mu menyentuh ujung-ujung bulu mataku, membasahi kelopak mataku yang membengkak seperti permukaan kulit kerang yang tebal. Adakah Kau dapat merasakan gemuruh langit kelabu di dalam dadaku? Hujan yang turun di bulan Desember. Begitu senyap di luar, begitu bergejolak di dalam diriku.

Seperti gelombang laut yang meluruk masuk daratan berkilo-kilometer jauhnya. Di Banda Aceh, kota kelahiranku. Ya, Allah, aku merindukan kota kelahiranku itu. Seperti apakah sosoknya sekarang setelah bencana itu? Aku merindukan setiap sudut kota yang kukenal dan telah menjadi orang tua asuhku sejak lama. Ia menyaksikanku tumbuh. Dari seorang anak yatim piatu menjadi seorang perempuan dewasa, istri, dan ibu, yang berani terbang jauh ribuan kilometer ke jantung Eropa untuk menimba ilmu. Banda Aceh-ku, seperti apakah sekarang rupamu?

Oh, aku merindukan pemandangan Masjid Raya Baiturrahman yang dulu begitu kukenal. Arsitekturnya yang megah dan menenteramkan mata menjadi penanda penting kotaku itu. Bentangan Krueng Aceh, sudut-sudut kawasan Rex, tempat favorit untuk ngobrol bersama teman sambil menikmati makanan dan kopi Aceh. Aku merindukan Pakcik Hazil dan Makcik Khadijah, kedua orang tua angkatku, manusia mulia, yang telah membesarkanku dengan curahan kasih sayang yang takkan mungkin kubalas. Betapapun aku menyerahkan seluruh hidupku untuk membahagiakan mereka. Aku merindukan Bang Hasan, suamiku tercinta, yang menggenggam separuh jiwaku, dan separuh jiwanya juga berada dalam genggamanku.

Orang-orang tercinta. Di manakah kalian? Aku limbung dan tak lagi bisa menangis. Begitu saja aku kehilangan kontak dengan kalian. Masih hidupkah? Atau sudah tiada? Jika mati, siapa memandikan dan mengafani jasadmu? Siapa memimpin shalat jenazah dan menyerukan Adzan menjelang ditutupnya tanah liang lahatmu? Di manakah nisan kuburmu? Ataukah semua itu terlalu mewah untuk keadaan darurat di sana, sehingga aku harus mengikhlaskan jika jenazah kalian yang hanya terbungkus plastik dikubur massal bersama korban-korban lainnya di lubang besar yang becek?

Ya Allah, hidup dan mati dalam genggaman-Mu. Aku tak lagi bisa menangis. Karena air mata takkan mengubah apa pun. Banda Aceh. Seperti apakah kotaku itu sekarang? Aku melihat gambar-gambar mengerikan terserak di internet, televisi, dan koran pagi. Mayat- mayat telantar di berbagai sudut kota dan desa. Gambar-gambar kehancuran kota-kota pesisir di Nanggroe-ku. Aku melihat semuanya. Banda Aceh, Meulaboh, Calang, Lhok Nga, Simeuleu. Semuanya.

Ya Allah Yang Maha Rahman, adakah jawaban untuk itu semua? Aku tak tahan dengan kebisuan-Mu. Minggu pagi, 26 Desember 2004, setelah gempa berkekuatan 8,9 skala Richter di kedalaman Lautan Hindia, disusul hantaman gelombang Tsunami itu, hidup tak akan pernah lagi sama bagi setiap orang Aceh. Tak akan pernah sama. Juga buatku.

***

Malam semakin larut. Di luar, salju semakin deras turun. Pikiranku masih mengembara. Aku ingin pulang. Mengemas barang-barangku sesegera mungkin. Mencari tahu kabar orang-orang tercinta. Mungkinkah itu kulakukan sekarang? Aku teringat telepon terakhir Bang Hasan dari Banda Aceh, malam terakhir sebelum datangnya bencana itu. Pesan yang harus kupatuhi. Selesaikan dulu studimu. Keadaan masih belum terlalu aman. Mudah-mudahan keadaan menjadi lebih baik buat kita dan buat Aceh di tahun-tahun mendatang. Oh, serasa suara Bang Hasan terus tergiang di benakku.

Bang Hasan. Senyumnya yang lembut, sorot matanya yang mengingatkan pada rembang petang tatkala matahari bersiap tenggelam, membuatku sulit menolak ketika ia memintaku mau menjadi istrinya beberapa tahun lalu. Hanya berselisih sebulan setelah tiran tua yang memerintah lebih tiga dasawarsa itu mengundurkan diri. Aku baru menyelesaikan studi S1. Kenaifan membuatku memiliki harapan berlebih terhadap masa depan Aceh. Kupikir, setelah terjadi pergantian kepemimpinan nasional di ibu kota negara, keadaan akan menjadi lebih baik buat Nanggroe-ku.

Aku salah. Bang Hasan-lah yang menyadarkanku. Betapa Aceh sudah kebal dikecewakan orang-orang dari Pusat. Kurang apa yang diberikan Aceh untuk negeri ini, kata Bang Hasan dengan berapi-api. Siapa yang tidak mengakui kegigihan para pahlawan nasional dari tanah rencong? Aceh-lah satu satunya daerah yang tidak mampu ditaklukkan secara utuh oleh Kolonialisme Belanda hingga menjelang masuknya balatentara Dai Nippon.

Dalam keadaan darurat Revolusi Kemerdekaan, para perempuan Aceh pula yang dengan sukarela mengumpulkan perhiasan berharga milik mereka, agar Republik ini untuk pertama kalinya bisa memiliki pesawat sendiri untuk menerbangkan pemimpin nasionalnya, kata Bang Hasan sambil menunjuk DC-3 Seulawah yang kini terpajang di lapangan Blang Padang, Banda Aceh.

Ah, Bang Hasan. Matahari hidupku. Ia selalu berbicara dengan bersemangat jika sudah menyinggung masalah ketidakadilan yang dialami tanah kelahiran kami. Cerita selanjutnya aku pun tahu. Kekecewaan demi kekecewaan, mulai dari digabungnya Aceh sebagai bagian Provinsi Sumatera Timur pada zaman Orde Lama, hilangnya kekayaan alam dikeruk perusahaan multinasional, pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) yang membawa korban perempuan, anak-anak, dan orang-orang tidak bersalah.

Mereka memilih membunuh lalat yang menjengkelkan dengan meriam, tambah Bang Hasan dengan nada pahit. Aku hanya bisa memandang Bang Hasan dengan tatapan iba. Tentu kekasihku itu mengerti betul. Ia tahu apa artinya kehilangan orang yang dicintai, saudara kandung, pada masa pemberlakuan DOM di Aceh.

Bang Hasan memang hanya seorang intelektual. Seorang dosen berhati lembut yang tidak mungkin bergabung dengan gerakan separatis bersenjata. Namun, sebagai seorang terdidik, ia pun selalu berbicara lantang perihal ketidakadilan yang dialami tanah kelahiran kami. Karena itulah, kecemasan telah menjadi bagian sehari-hari dalam kehidupan rumah tangga kami. Sudah biasa bagi kami jika merasa ada seseorang tengah memata-matai kami. Teror melalui telepon pun sering kami terima. Bang Hasan pun pernah merasakan beratnya interogasi aparat keamanan dan ditahan di balik tembok berterali besi. Namun, tak pernah sekali pun kusesali pilihan hidupku bersama Bang Hasan.

Tepat sebelum darurat militer diberlakukan di Aceh, Bang Hasan-lah yang memintaku berangkat ke Eropa untuk menerima tawaran beasiswa melanjutkan pendidikanku di sana. Bawalah Ilham, katanya sambil tersenyum. Ia bisa menjadi malaikat kecil pelindungmu di sana, katanya sambil mencubit pipi anak kami satu-satunya itu.

***

Allah, Allah, Allah. Langit masih gelap di luar sana. Kulihat Ilham-ku terbangun dari tidurnya. Ia biasa begitu. Suka terbangun tengah malam, meminta minum atau diantar ke kamar mandi. Ia mengucak-ucak matanya. Melihatku.

"Bunda…"
"Ya, Nak…"
"Bunda belum tidur? Bunda masih terus menangis?"
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku mengalihkan perhatiannya dengan bertanya, "Ilham mau minum?"
Ia mengangguk. Aku mengambilkan air minum untuknya. Usianya baru lima tahun. Ilham terlalu tenang untuk anak seusianya. Terkadang aku merasa seperti tengah berhadapan dengan orang dewasa yang memiliki kematangan spiritual. Sering aku berpikir, mungkinkah Ilham tergolong anak indigo, anak yang memiliki bakat khusus berupa kekuatan intuisi dan indera keenam?

Semalam sebelum datangnya bencana itu, Ilham tampak lebih pendiam daripada biasanya. Matanya berkabut. Kutanya, ada apa? Dua butir air mata jatuh di pipinya. Aku merasa Ayah, Kakek, dan Nenek, akan pergi jauh meninggalkan kita, katanya dengan terbata-bata. Pergi? Pergi ke mana? Mereka tidak akan pergi ke mana-mana. Mereka menunggu kita di kampung halaman. Mengapa Ilham berkata begitu?

***

"Bunda, kok melamun?"
Mataku yang bengkak mengerjap. Ya, aku masih di sini, bersama Ilham anakku. Ribuan kilometer jauhnya dari tanah air sendiri.
"Bunda ingat Ayah, ingat semuanya. Bunda mencemaskan keselamatan mereka."
Ilham sudah tahu dari ceritaku soal bencana itu. Bahwa sesuatu yang sangat dahsyat telah menimpa kampung halaman kami semua.

Ilham memelukku. "Bunda jangan sedih terus," katanya.
"Mengapa Bunda tidak boleh bersedih?"
"Tadi aku bertemu Ayah dalam mimpi. Tidak usah mencemaskan kami, begitu pesan Ayah."
"Ayah bicara seperti itu dalam mimpi Ilham? Lalu apa lagi?"
"Kata Ayah, kelak kita akan berkumpul kembali bersama-sama di tempat terbaik yang disediakan Allah untuk kita."
Ya Allah, kupeluk anakku satu-satunya. Mataku kembali basah. Inikah isyarat dari-Mu, Tuhanku? Bahwa aku harus merelakan kepergian orang-orang yang kucintai?

Baiklah. Aku belum mati. Aku hanya bersedih. Kesedihan tidak akan mampu membunuhku. Aku perempuan Aceh. Perempuan Aceh sudah berkawan dengan kesedihan sejak lama. Aku menatap Ilham-ku. Aku tahu sekarang apa yang harus kulakukan. Aku akan bertahan hidup untuknya.

Thursday, May 21, 2009

Keberkahan hidup

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". Q. 7 : 96.

Setiap orang tentu saja ingin memperoleh keberkahan dalam hidupnya di dunia ini. Karena itu kita selalu berdo'a dan meminta orang lain mendo'akan kita agar segala sesuatu yang kita miliki dan kita upayakan memperoleh keberkahan dari Allah SWT. Secara harfiah, berkah berarti an-nama' waz ziyadah yakni tumbuh dan bertambah, ini berarti Berkah adalah kebaikan yang bersumber dari Allah yang ditetapkan terhadap sesuatu sebagaimana mestinya sehingga apa yang diperoleh dan dimiliki akan selalu berkembang dan bertambah besar manfaat kebaikannya. Kalau sesuatu yang kita miliki membawa pengaruh negatif, maka kita berarti tidak memperoleh keberkahan yang diidamkan itu.

Namun, Allah SWT tidak sembarangan memberikan keberkahan kepada manusia. Ternyata, Allah SWT hanya akan memberikan keberkahan itu kepada orang yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Janji Allah untuk memberikan keberkahan kepada orang yang beriman dan bertaqwa dikemukakan dalam firma-Nya yang artinya: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". Q. 7 : 96.

Apabila manusia, baik secara pribadi maupun kelompok atau masyarakat memperoleh keberkahan dari Allah SWT, maka kehidupannya akan selalu berjalan dengan baik, rizki yang diperolehnya cukup bahkan melimpah, sedang ilmu dan amalnya selalu memberi manfaat yang besar dalam kehidupan. Disinilah letak pentingnya bagi kita memahami apa sebenarnya keberkahan itu agar kita bisa berusaha semaksimal mungkin untuk meraihnya.

Tuesday, May 19, 2009

Nasihat-nasihat

Ketika Hasibaun, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya, dengan penuh perhatian ia mendengarkan. Memang selama wajahnya kalihatan sungguh-sungguh, bila setiap orang mengemukakan kesulitannya untuk meminta sekedar nasihat yang berharga. Sikapnya ini menyenangkan hati orang. Sedang rambut dan kumisnya yang lebat dan telah putih seluruhnya itu, memberikan keyakinan dalam setiap hati yang dilanda kerisauan, bahwa dari padanya saja nasihat yang baik memancar.
Nasihat orang tua itu selamanya berharga. Karena itu, setiap orang tak berani memulai sesuatu sebelum diminta nasihatnya. Dan jikalau orang lupa meminta nasihat kepadanya, mereka itu merasa berdosa sekali. Namun demikian, biar orang lupa dan tak butuh nasihatnya pun, ia mampu memperlihatkan kebesaran jiwanya. Cepat-cepat ia memberikan nasihatnya. Dengan penuh kesungguhan dan dengan segala pertimbangan yang sangat masuk akal.
Pada setiap perkumpulan namanya pastilah tercantum sebagai penasihat. Kalau tidak diminta, ia sendiri akan menawarkan dirinya. Dan tak satu pun dari perkumpulan itu yang menolak. Meski di antara perkumpulan itu saling berlawanan asas.
Dan ketika Hasibuan, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya demikian hilang akal, ia tidak tersenyum melecehkan. Sealanya dipandangnya berat, walau kadang-kadang ia tahu soalnya adalah tetek bengek saja.
"Itulah semua," ujar Hasibuan dengan nada putus asa. "Berilah aku nasihat. Apa yang harus kulalkukan lagi?"

Friday, May 15, 2009

Menyikapi Kegagalan 


Penyikapan individu pada momen di mana kegagalan terjadi dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Membiarkan
Model penyikapan ini adalah menerima kegagalan dengan kualitas yang rendah berupa membiarkan saja semua terjadi. Sikap ini dihasilkan dari mentalitas yang rendah untuk mendobrak keadaan karena tidak memiliki kemauan yang dibangkitkan di dalam untuk menemukan penyebab yang rasional. Bisa jadi kemauan itu erat kaitannya dengan level pengetahuan dan harapan yang dimiliki orang. Karena jawaban rasional tidak ditemukan, maka cara tunggal yang digunakan untuk memaafkan sikap demikian adalah menempatkan kegagalan dalam wilayah hidup yang tak tersentuh oleh upaya dirinya dengan meyakini titah takdir atau nasib.
2. Menolak
Model penyikapan kedua adalah menolak kegagalan.Penolakan itu dilakukan dalam bentuk menyalahkan orang lain, keadaan atau Tuhan sekalipun, karena dirasakan tidak adil memberi perlakuan. Biasanya penolakan itu terjadi akibat keseimbangan hidup yang kurang mendapat perhatian di tingkat intelektual, emosional atau spritual. Meskipun kegagalan dapat dilumpuhkan, tetapi akibat penolakan yang dilakukan, keseimbangan antara usaha dan hasil tidak sebanding. Jika diambil perumpaan maka model hal ini adalah ibarat orang membunuh nyamuk dengan sepucuk pistol.
3. Menerima
Model penyikapan ketiga adalah yang paling ideal yaitu menerima kegagalan dengan kualitas yang tinggi. Di sini kegagalan adalah materi pembelajaran-diri atau kurikulum pendidikan situasi. Daam hal ini tentu saja bukan berarti bahwa semakin banyak kegagalan semakin bagus tetapi yang ingin difokuskan adalah bagaimana individu menempatkan kegagalan sebagai proses yang menyertai realisasi gagasan. Bisa jadi fakta fisik menunjukkan peristiwa yang belum / tidak berjalan seperti yang diinginkan oleh perencanaan akan tetapi orang seperti Edison atau orang lain yang bermazhab-hidup sama merebut tanggung jawab untuk mengubah hidup dari cengkraman fakta fisik temporer itu. Seperti dikatakan Dr. Denis Waitley: "There are two primary choices in life: to accept conditions as they exist, or accept the responsibility for changing them."
Munculnya penyikapan yang beragam di atas tidak terjadi secara take for granted begitu saja tetapi dibentuk oleh sekian faktor antara lain:
a. Lingkungan
Termasuk dalam kategori lingkungan adalah keluarga, masyarakat dan bangsa di mana kita menjadi salah satu komponen yang ikut mempengaruhi dan dipengaruhi. Kualitas model penyikapan lingkungan terhadap persoalan hidup secara umum tergantung tingkat pendidikan, nilai kebudayaan, atau peradaban yang membentuknya. Orang yang dibesarkan oleh lingkungan berbeda bagaimana pun punya format pandangan berbeda tentang persoalan hidup.
b. Sistem Struktural
Selain lingkungan, faktor sistem struktural yang mengatur organisasi, lembaga, atau perkumpulan sosial tertentu juga ikut andil terutama membentuk karakter mentalitas individu dalam menghadapi hidup dan kegagalan pada khususnya. Mentalitas tinggi akan membentuk kepribadian di mana seseorang menjadi ‘the cause’ dari peristiwa hidup sementara mentalitas rendah akan membentuk kepribadian sebagai ‘the effect’.
c. Personal
Meskipun tidak bisa dinafikan pengaruh yang dimiliki oleh faktor lingkungan dan sistem struktural, tetapi pengaruh tersebut hanya bersifat menawarkan dan hanya faktor personal-lah yang menentukan keputusan. Sudah jelas kita rasakan, tidak semua pengaruh itu murni negatif atau positif sehingga peranan terbesar terdapat pada kemampuan kita untuk menghidupkan tombol ‘seleksi’ dan ‘pengecualian’ dalam memilih model penyikapan untuk mendukung di antara yang bekerja untuk merusak atau mandul.
Memaknai Kegagalan
Tidaklah benar jika dikatakan bahwa ketidakmampuan seseorang mengambil manfaat dari hidden potential yang terjadi dalam suatu peristiwa yang menyebabkan kegagalan semata-mata karena faktor negatif yang diwariskan oleh lingkungan atau sistem struktural yang ada dalam masyarakat. Justru yang dibutuhkan adalah bagaimana kita menciptakan model penyikapan ketiga yang dihasilkan dari pemahaman tentang cara kerja hidup dan dunia. Dalam hal memaknai kegagalan, kesengsaraan, atau peristiwa menyakitkan lainnya, maka langkah-langkah yang kemungkinan besar dapat membantu adalah:
1. Menciptakan Kondisi
Makna tidak datang sendiri tetapi sebagai hasil yang diciptakan oleh usaha untuk menemukannya, dalam arti menciptakan kondisi dengan kesadaran bahwa kita sedang menjalani pendidikan situasi untuk mematangkan diri. Kualitas conditioning akan sebanding dengan benefit yang tersimpan di baliknya. Sebelum Ir. Ciputra bercerita riwayat hidupnya dari kecil, rasanya semua orang membayangkan betapa enaknya menjadi sosok yang menyandang sebutan maestro property Indonesia atau Asia Pasifik. Tetapi dengan pengakuan bahwa dirinya adalah manusia yang tidak tahu di mana seorang ayah dimakamkan oleh penjajah kala itu yang akhirnya membuat Ciputra kecil berusia 12 tahun harus hidup tanpa bimbingan ayah, barulah kita sadar bahwa balasan yang diterimanya sekarang ini adalah balasan setimpal. Bocah kecil bernama Ciputra harus jalan kaki sepanjang 7 km karena tujuannya menyelesaikan sekolah dasar. Kata kuncinya bukan pada kematian seorang ayah di sel penjara penjajah akan tetapi kesadaran bahwa dirinya harus merumuskan tujuan, visi, dan misi hidup seorang diri. Andaikan situasi serupa dihadapi oleh kita sendiri, belum tentu kita berani buru-buru membayangkan alangkah enaknya menjadi sosok Ir. Ciputra.
2. Menciptakan Perbedaan
Model penyikapan ketiga yang membedakan model pertama dan kedua pun juga tidak disuguhkan tetapi diciptakan oleh kualitas pembeda dalam mengembangkan sembilan sumber daya inti di dalam diri yaitu:
Sumber daya material: fisik, raga
Sumber daya intelektual: nalar
Sumber daya emosional: sikap perasaan
Sumber daya spiritual: hati, rohani
Sumber daya mental: daya dobrak
Sumber daya visual: imajinasi
Sumber daya verbal: komunikasi
Sumber daya social: relationship
Sumber daya dukungan eksternal: lingkungan dan sistem struktural
Banyak hal-hal kecil yang dapat membantu memperbaiki model penyikapan tetapi luput untuk dijalankan karena sifat manusia yang ingin ‘jump to conclusion’ mendapatkan hasil yang besar. Di antaranya adalah kesadaran mendengarkan musik, olah raga, membaca, doa, meditasi, relaksasi senyuman, tepuk tangan atas keberhasilan orang lain, dan lain-lain.
3. Menggunakan Kemampuan Baru
Hasil akhir dari pembelajaran diri dengan menjalani pendidikan situasi adalah memiliki kemampuan baru, baik kemampuan hardware skill dan software skill atau makna lain yang anda temukan. Tetapi balasan setimpal dari situasi yang kita rasakan menyakitkan adalah menggunakan kemampuan tersebut untuk menambah nilai plus, competitive advantage, diri kita bagi orang lain. Salah seorang yang pernah berhasil menggunakan kemampuan baru itu adalah prof. Hamka. Mungkin – ini hanya pengandaian – kalau tidak dijebloskan ke penjara, buku tafsir yang menjadi karya fenomenal Hamka tidak pernah rampung. Kalau tidak pernah bangkrut yang membuatnya hidup menggelandang sampai usia 40 tahun, mungkin karya berseri berjudul “The Chicken Soup for Soul” yang saat ini banyak terpampang di sejumlah toko buku di dunia tidak akan dihasilkan oleh Mark Victor Hensen.
Tentu bukan penjara atau hidup menggelandang yang membuat kedua sosok di atas merasakan balasan setimpal, tetapi pembelajaran diri dalam memaknai setiap peristiwa hidup yang terjadi justru menjadi kunci untuk mengembangkan sumber daya di dalam diri masing-masing dan hasilnya digunakan demi kesejahteraan orang banyak.
Akhir kata, sebaik-baiknya seseorang maka akan sangat baik jika ia dapat belajar dan mengambil hikmah dari setiap peristiwa hidup guna memberikan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Selamat menemukan makna dari peristiwa hidup yang anda alami guna menciptakan competitive advantage bagi diri sendiri dan bermanfaat bagi kesejahteraan orang banyak.(jp)

Robohnya Surau Kami


Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasihdan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.
Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. "Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
"Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
"Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."
"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?"
"Kerja."
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.
"Ya, dia pergi kerja."